Minggu, 24 April 2011

My Snow Prince

yo minna ! XD
saya bikin ff nih, tentang kakak beradik Morimoto! yoroshiku!

  
    Akhir bulan Januari. Yah, ini masih musim dingin, menyebalkan, setidaknya bagi seorang Morimoto Ryutaro yang memang membenci musim tersebut karena tak tahan pada suhunya.

     “Yatta! Fuyu desu!!” teriak Shintaro, adik Ryu, yang membahana ke seluruh penjuru kamar kakaknya itu.
    “Waah..! Akulah Sota sang Yuki no Oujisama!! Niichan, niichan, ayo banguun..!” teriaknya lagi sambil mengguncang-guncangkan tubuh Ryu.
      “Mmh…” gumam Ryu sambil menarik selimutnya untuk menutupi kepalanya.
      “Ryutaro! Sarapan sudah siap!” seru okaasannya dari lantai bawah.
      “Heei.. Okaasan sudah berteriak 14 kali tuuh!” rengek Shin sambil berusaha menggelitiki kakaknya yang tak pernah mau bangun pagi itu.
“Minggir kau! Menjauh dariku!” jerit Ryu sambil mendorong Shin. Mau tak mau Ryu bangkit berdiri dan merapikan futonnya agar adiknya berhenti berteriak. Setelah mencuci muka dan memakai seragamnya, Ryu segera turun ke bawah untuk sarapan bersama Shin.

       “Ohayou, Ryu. Ayo, sarapan dulu.” Sambut okaasan sembari menyunggingkan senyuman khasnya setiap pagi.

       “Ohayou.” Balas Ryu sambil mengambil tempat duduk disamping Shin.
     “Oniichan..” bisik Shin sambil melontarkan sengiran bahagia kepada kakak yang sangat dicintainya itu.

Namun orang yang dipanggil oniichan itu hanya mekirik adiknya sekilas dan mengeluh, bersiap untuk mengambil semangkuk nasi.

      “Oniichan..” bisik Shin lagi, masih dengan sengiran lebar di wajahnya.
       “Haah.. Baik, baik.. Yuki no Oujisama..” jawab ryu dengan malas sambil menyantap sarapannya.
       “Apa? Hei, jangan bilang aklau kalian taruhan lagi!” kata okaasan menyelidik kedua putranya itu.
      “Shintaro duluan, okaasan.. Dia menantangku main game, dan kalau aku kalah, aku harus memanggilnya dengan ‘Yuki no Oujisama’!” elak Ryu.
     “Itu sih belum seberapa, kalau aku yang kalah, aku tidak boleh sarapan selama 3 hari!” sembur Shin dengan polosnya.

        “Hentikan itu! Ryu, kau juga! Lain kali jangan sering taruhan dengan otosan! Shin jadi terpengaruh, ne!” kata okaasan sembari mengacak-acak rambut putra kesayangannya itu.

_____oOo_____

         Siang itu, Shin pulang lebih awal karena ada syutaing. Sebelum berangkat ek lokasi, bocah berumur 13 tahun itu memandangi sebuah foto di majalah. Dia membaca keras-keras judul artikel itu, “The Morimoto Brothers”. Foto-foto yang memperlihatkan keakrabannya dengan Ryu, yang sebenarnya sangat ingin ia raih, melihat kenyataan bahwa Ryu hanya mau merangkulkan tangannya saat pemotretan saja. Selebihnya, Shin sadar bahwa Ryu membencinya, entah kenapa.

      “Apa oniichan benar-benar menyayangiku..?” pikir Shin sedih. Ia kemudian berpaling melirik poster yang detempelnya di kamar. Poster yang mempromosikan film berjudul Snow Prince yang dibintanginya tahun lalu. “Snow Prince..” gumam Shin.

         “Aku.. juga ingin mwnjadi seorang adik yang bisa oniichan sayangi..” desisnya lagi, amat pelan.

          “Shintaro, nanti kamu terlambat..” kata okaasan yang sudah berdiri di sisi pintu kamar Shin.

          “Ah.. Iya.” Jawab Shin seraya menyunggingkan sengiran lebar seperti yang sudah-sudah.

_____oOo_____

          “Okaeri, otosan!” sambut Ryu ketika otosannya itu telah pulang dari Shizuoka untuk urusan pekerjaan. “Nah, nah, dimana Shintaro dan Natsune?” Tanya otosan sembari menanggapi ajakan toss dari Ryu.
        “Natsune sudah tidur. Shin sebentar lagi juga akan pulang dari syuting.” Sahut okaasan sambil membantu meletakkan jas dan tas milik otosan.

          “Tadaimaaaa!!!” seru Shintaro tiba-tiba.
          “Tuh, datang.” Kata Ryu sambil memijat-mijat pundak otosannya itu.
          “Okaeri.” Sambut okaasan dan otosan.
          “Aah! Otosan sudah pulang!” seru Shintaro lagi sambil memeluk otosannya.
          “Bagaimana syutingnya?” Tanya okaasan sambil menghidangkan teh panas untuk bersama-sama.
          “Daijobu, sukses!” jawab Shin semangat.
          “Huaahh.. Gomen ne.. Aku tidur duluam ya..” kata Ryu setelah menghabiskan tehnya.
      “Eh? Niichan sudah mau tidur?” Tanya Shin sembari mengikuti langkah kakaknya, sedangkan yang ditanya hanya diam saja. Shintaro berhenti melangkah dan berbelok menuju kamarnya. Ryu yang sama sekali tidak menggubrisnya mengunci pintu kamarnya karena menyadari ahl itu akan terjadi lagi.

      Dan benar saja, suara derap langkah kaki terdengar menuju kamarnya dan seseorang mulai mengetik pintu sambil memanggil-manggil namanya.
            
“Niichan..” panggil Shin dari balik pintu. Ryu tak menjawabnya.
           
“Niichan..” ulangnya lagi dan memperkeras ketukannya.
            
“NIichan..” jerit Shin pelan, tidak menyerah.
           
“Iie!” balas Ryu setengah berteriak.
            
“Niichan.. ayo tidur sama-sama.. Dingin..” rengek Shin semaki kencang.
           
“Iie!!” balas Ryu yang sekarang telah sepenuhnya berteriak, kesal. Dasar manja! Pikirnya.
           
“Niichan.. Dingin..!” jerit Shin lagi.
           
“Niichan! Oniichan!” Shin, masih belum menyerah juga.
           
“Iie! Dame ne!” kata Ryu yang tak mau beranjak dari futon biru kesayangannya.
          
“Niichan.. kumohon.. niichan..!” rengek Shin disertai isakan-isakan yang sedari tadi ditahannya. Tapi sama saja, kakaknya tetap taka mu membukakan pintu.
Shintaro tetap bertahan pada posisinya selama beberapa menit dengan tangisan yang tak bisa dihentikannya.
            
“Ryu-niichan.. jahat..” desisnya sambil megusap air mata di pipinya.

Hening.

Shintaro tetap menangis.

                “Mau sampai kapan kau nangis disitu?”
Sebuah suara refleks membuat Shin mendongakkan kepalanya.

               “Hanya untuk amalm ini saja. Masuklah.”
Shintaro menatap oniichannya dengan tak percaya.

               “TIdak mau ya sudah.” Kata Ryu sambil menutup pintu kamarnya lagi.
               “Oniichan..!!” jerit Shin seraya berusaha membuka pintu.

_____oOo_____

          “Ne, mala mini dingin sekali ya?” kata Shintaro membuka percakapan, namun kakaknya tak menyahut. “Oniichan sudah tidur..?” tanyanya lagi sembari menengok wajah Ryu yang sudah statis.

            “Haah.. Niichan.. Aku Cuma ingin niichan tau..” kata Shin lagi sambil memandang langit-langit kamar. Lanjutnya, “Aku.. sayang sekali sama niichan.. Tapi, kenapa niichan membenciku? Aku juga ingin berakrab ria dengan kakakku, seprti anak-anak yang alin. Yang alami, bukan karena tuntutan peran.”
Tak ada reaksi apapun dari Ryu, matanya tetap terpejam.

             “Niichan.. niichan tau impianku? Impianku itu, bias menjadi snow prince bagi niichan.. Aku ingin bias menghangatkan niichan saat kedinginan dan member kesejukan saat kepanasan.” Bisik Shin sambil mengecup dahi kakak tersayangnya itu.

              “Oyasuminasai.” Bisiknya lagi dan kemudian memutuskan untuk tidur.

              “Baka..” desis Ryu sembari memandangi wajah adiknya yang sudah tertidur pulas.

_____oOo_____
        
  Esoknya, hari minggu pagi. Hari yang sepertinya pas untuk bersantai, tapi tidak bagi Ryu yang pagi itu harus ke Jimusho untuk latihan bersama anggota Hey! Say! Jump yang lain. Melelahkan, memang. Tapi ini merupakan impiannya bukan? Menjadi penyanyi, hal itu telah terwujud, dan kini ia harus sanggup membagi waktu demi profesinya sekarang. Merepotkan, pasti. Kemanapun ia pergi harus melakukan berbagai penyamaran agar orang-orang dijalan tidak menjadi heboh. Ia juga sedikit trauma sejak ditodong dan diancam dengan pisau oleh fans fanatiknya sendiri. Meskipun begitu, ia tak akan menyerah begitu saja, karena, yah, sekali lagi, ini adalah impiannya.

          “Oniichan..?” gumam Shin yang baru saja bangun dari tidurnya sembari mengusap-usap kelopak matanya dengan punggung tangannya. Tidak ada jawaban, Shin tau.

               “Sudah bangun? Tumben..” kata Shin. Ia sudah tau kakaknya tidak akan menanggapinnya.

                “Oniichan..” kalimat Shin terpotong karena sesuatu telah memaksanya untuk berhenti bicara.

Gempa bumi.

Tidak, ini berbeda. Walaupun mereka sudah sering merasakan gempa bumi, tapi kali ini berbeda, entahlah.

Sepertinya sedikit.. besar?

Tidak, ini memang gempa yang sangat besar. Ryu jatuh dari tempatnya berdiri sementara Shin hanya sanggup berdiam diri untuk memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi.

BRUAK!!

Ah, tidak, atap di kamar Ryu mulai runtuh. Shin mejerit karena ketakutan.

              “Oniichan!!” jeritnya panik.
           “Shintaro!!” pekik Ryu ketika atap diatas Shintaro sudah siap untuk jatuh. Ryu mendekap Shin, melindungi kepala adiknya agar jangan sampai terluka.

                “Oniichan..?” gumam Shin bingung. Ini pertama kalinya oniichan melindungiku, pikir Shin.

DUAK!!

Sebuah benturan keras di kepala Ryu yang lalu menyebabkan cairan merah-darah keluar cukup banyak, sontak Shin langsung emnjerit histeris, “Niichan!!!”

          Sayangya tidak hanya satu kali. Gempa bumi yang cukup lama itu telah membuat tubuh Ryu semakin kesakitan karena tertimpa macam-macam barang. Ingin keluar, percuma. Bahkan pintunya pun sudah tak terlihat lagi. Shintaro ketakutan, dan ia pun tau bahwa Ryu juga menangis, tapi Ryu kuat. Ia tetap mendekap erat tubuh adiknya walaupun rasa sakit itu telah menyebar ke seluruh bagian tubuhnya.  Tak lama, gempa bumi itu berhenti. Hening. Yang tersisa hanyalah isakan-isakan dari sepasang kakak adik yang berada dalam reruntuhan tembok.
        
“Niichan..” gumam Shin sambil berusaha menyingkirkan barang-barang di sekitarnya, sesak.
        
“Shin.. gomen ne..” bisik Ryu sembari tersenyum tipis, sesak.
        
“Niichan.. darahnya.. taka mu berhenti..” kata Shin apnik, sesak.
    
“Sshhtt.. sudahlah, daijobu..” sahut Ryu pelan, sesak. Sesak, mereka tak kuat mengangkat tembok yang menimpanya, sudah tidak kuat.
       
“Niichan..” tangis Shin semakin menjadi, sesak.
        
“Shintaro.. kau sudah menjadi snow prince bagiku.. dan tetaplah begitu..” bisik Ryu lirih, sesak.
       
“Niichan..” Shin tak henti-hentinya memanggil kakaknya, sesak.
       
“Baka..” kata Ryu, terdengar parau, dan setelah itu ia terbatuk, mengeluarkan semakin banyak cairan darah dari tubuhnya, sesak.
    
“Niichan..” gumam Shin berusaha untuk memeluk kakaknya itu, dan ia menemukannya. Tangannya meraba sesuatu yang menancap di punggung Ryu, sesak. Ryu hanya meringis, sesak.
       
“Niichan..” desis Shin miris melihat kakaknya yang perlahan menutup matanya, sesak. Sungguh sesak. Amat sesak.

_____oOo_____

      Hal terakhir yang Shin ingat adalah ketika dia memeluk kakaknya, dan kemudian semuanya menjadi pudar, gelap.

         “Niichan..?” gumam Shin ketika terbangun di sebuah kamar rumah sakit. Ia tau, ia hanya pingsan selama beberapa jam, melihat keadaan sekitarnya yang masih kacau. Shin memutar bola matanya ke segala penjuru arah, mencari keberadaan kakaknya.

           “Niichan..?” desis Shin yang mulai panic. Okaasan, otosan, dan Natsune hanya memandangnya sedih. Okaasan menangis, begitu juga Natsune. otosan hanya melamun dengan tatapan kosong.

        “Okaasan.. otosan.. dimana niichan..?” Tanya Shin miris. Otosan menggelengkan kepalanya, dan okaasan memeluk Shin, menangis histeris.

           “Masaka..” Shin mengerti. Ia balas memeluk okaasannya. Sakit. Perih.

           “Niichan..”

_____oOo_____

             Shin menatap kosong sebuah nisan dengan ukiran nama Morimoto Ryutaro di salah satu sisinya. Tapi ia tak menangis, tidak sama sekali. Ini hanyalah mimpi buruk, Ryu-niichan tak mungkin mati, sebentar lagi pasti ia akan bangun dan bisa melihat niichan lagi, piker Shin sembari menga,bil sebuah benda dari saku celananya. “Tapi ini memang bukan mimpi, Shintaro,” desis Shin pelan.

          Shin melihat ke sekelilingnya. Okaasan masih terus menangis disamping otosan, NAtsune berdiri di sampingnya memandang orang-orang, anggota Hey Say Jump dengan manajer mereka dan Johnny-san, serta fans-fans Ryu yang tertunduk sedih bahkan menangis, teman-teman sekolah Ryu yang juga menangis. Hamper semuanya menangis. Shintaro kembali menatap  benda yang berada dalam genggamannya. Sebuah gelang kaki yang dipakai kakaknya saat bencana itu terjadi. Bencana yang telah merenggut nyawa kakak yang sangat disayanginya.

        Apakah tak ada cara lagi untuk membuat niichan kembali kesini? Hanya kalimat itu yang sedaritadi berputar di kepala Shin. Ia akan merelakan segalanya, sekalipun itu nyawanya, agar Ryu dapat kembali, apapun. Baginya, tidak apa-apa jika Ryu tidak memperbolehkannya tidur dengannya, tidak apa-apa meski[un Ryu tidak menggubris apapun yang ia ucapkan, tidak apa-apa bila Ryu hanya mau akrab dengannya ketika pemotretan, tidak apa-apa, sungguh tidak apa-apa jika Ryu memang membencinya, asalkan dia kembali. Asalkan ia bisa melihat wajah hidup kakaknya lagi, walaupun hanya sekali.

           Sebuah tepukan lembut di bahunya langsung membuyarkan lamunannya. Ia mendongakkan kepalanya dan mendapati seorang lelaki muda, Okamoto Keito, anggota Hey Say Jump yang dekat dengan Ryu. Keito pernah beberapa kali main ke rumah, jadi ia sudah mengenalnya.

           “Dia sudah tidak apa-apa. Ne, Shintaro?” kata Keito lembut sambil membentuk lengkungan tipis pada bibirnya untuk menghibur adik sahabatnya itu. Shin diam, menatap Keito dengan tatapan tak menentu.

        “Kakakmu adalah orang yang sangat baik, meski[un kadang ia bersikap egois da seenaknya sendiri. Dia sudah pergi sekarang, tapi kita harus tetap tersenyum, ne? Kita harus bisa melakukannya, untuk Ryu-niichan mu yang sangat menyayangi adiknya ini.” Kata Keito panjang lebar seraya membelai kepala Shin pelan. Shintaro mengangguk sekilas dan kembali menatap Keito yang menundukkan kepalanya untuk menghapus air mata yang keluar begitu saja di wajahnya.

_____oOo_____

         Shintaro sudah tidak kuat jika membaca artikel-artikel tentang keadaannya dan kakaknya ketika gempa bumi itu terjadi.

Morimoto Ryutaro (15) dan adiknya, Morimoto Shintaro (13) ditemukan bersama di kamar Ryu dengan keadaan cukup memprihatinkan. Ryu melindungi Shin yang berada dalam dekapannya. Shin yang pingsan segera dilarikan ke rumah sakit. Sayangnya Ryu mengalami pendarahan hebat di bagian kepala dan punggung akibat tertimpa reruntuhan yang menyebabkannya kehilangan nyawa. Ryu dimakamkan dua hari setelah pasca gempa di Kanagawa, tempat kelahirannya.

       Perasaan itu masih ada. Sakit dan perih yang teramat sangat ketika melihat tubuh kaku Ryu yang sudah tak berjiwa, walaupun sudah dua bulan berlalu. Ya, bulan April, musim semi. Tepatnya tanggal 6 April, hari ulang tahun RYu. Shin dan keluarganya mengunjungi makam Ryu yang sebenarnya terasa asing baginya. Ia masih merasa tak percaya bahwa abu kakaknya berada di bawah nisan itu.

       Sesampainya di rumah, Shin langsung menghempasakan tubuhnya di sofa.

      “Ganti baju dulu..” kata okaasan lembut, tetapi masih terdengar sedih. Shin menatap mata okaasannya yang bengkak. Okaasan sudah lelah menangis, ia tau. Ketika okaasan hendak pergi, Shin menarik ujung kemeja ibu muda itu.
         “Doushite?” Tanya okaasan sembari duduk di samping Shin.
         “Okaasan.. Ryu-niichan membenciku..?” kata Shin pelan.

    Okaasan diam sejenak dan berkata, “Tidak, sama sekali tidak. Justru sebaliknya. Ia sangat menyayangimu..”

        “Waktu Shin lahir, kakamu sangat senang. Dia suka sekali memelukmu. Bahkan sampai sekarangpun rasa saying itu masih ada. Ryu-niichan sering bertanya, ‘Shin mana?’ ‘Shin sudah pulang belum?’ ‘Shin pulangnya kapan?’ ‘Shin kenapa lama sekali?’ saat kamu tidak ada di rumah. Waktu Shin dirawat di rumah sakit, dia berulang kali menelepon okaasan hanya untuk menanyakan keadaanmu.” Kata okaasan panjang lebar dan memeluk putra bungsunya yang mulai menitikkan air matanya.

Ini pertama kalinya Shintaro menangis setelah kematian kakaknya. Ia merasa sangat sedih dan merasa bodoh karena menganggap Ryu membenci dirinya. Kini Shin mengerti, segala perlakuan Ryu padanya bukanlah tanpa alasan. Ryu tidak tau bagaimana cara menunjukkan rasa sayang itu kepada adik-adiknya. Kadang apa yang Ryu katakan jauh berbeda dari maksud yang hendak ia sampaikan. Shin paham. Ryu menyayanginya dari dulu, hingga saat terakhirnya lebih memilih melindungi Shin daripada dirinya sendiri.

Sekarang sudah tidak ada lagi suara gitar yang selalu dimainkan Ryu. Sudah tidak ada lagi yang bisa didatangi kamarnya saat Shin mimpi buruk atau kedinginan. Sudah tidak ada lagi teriakan-teriakan dan guratan wajah kesal yang selalu dilihatnya setiap hari. Sudah tidak ada lagi yang bisa Shin paksa untuk bangun pagi. Sudah tidak ada lagi figur seorang kakak yang sangat dibanggakannya. Sudah tidak ada lagi.

“Shitaro, niichan tidak bermaksud jahat..”

“Niichan..” desis Shin disela-sela tangisnya dalam dekapan okaasan.

“Soalnya niichan sayang sekali sama Shintaro..”

“Aku juga sayang sekali sama niichan..”

_____oOo_____
“Bintang tamu kita kali ini adalah Hey! Say! Jump dan seorang pemuda multi talenta berumur 16 tahun yang sangat memukau!” suara tepuk tangan membahana ke seluruh ruang studio.
“Konbanwa minna! Kami dari Hey! Say! Jump.” Kata sang leader, Yabu Kouta.
“Ya, dan saya Morimoto Shintaro. Senang bertemu dengan kalian.” Lanjut seorang pemuda bertubuh tinggi yang tadi disebutkan.
“Ooh.. Morimoto Shintaro? Tingginya! Sama seperti kakakmu dulu ya, dia juga tinggi! Sugoi..” kata salah seorang pembawa acara yang kemudian disenggol oleh pembawa acara yang lainnya.
“Daijobu. Sudah dua tahun berlalu.” Kata Shintaro sembari menunjukkan senyuman lebar yang menjadi khasnya.

Di akhir acara, pembawa acara membimbing agar tamu mereka menyampaikan pesan kepada siapa saja sesuai keinginan mereka.

“Untuk Ohno-kun, sukses selalu! Kami selalu mendukungmu!” kata Chinen penuh semangat yang menjadi anggota terakhir Hey! Say! Jump yang menyampaikan pesan. Shintaro segera berdiri dan menerima mic dari pembawa acara.

“Arigatou. Ano.. untuk Ryu-niichan, kami semua menyayangimu! Bukankah kau juga begitu? Umm.. aku akan berusaha untuk tetap menjadi snow prince bagimu! Hontou ni arigatou.. niichan..” kata Shin semangat.


Sekai ga ima, nikumi atteru no wa
Ne daremo ga kitto, gomen ne wo iwanai no
Itsu no ma ni ka, furitsumotta yuki
Junpaku enogu de, Kesou kinou no kanashimi..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar